Dec 18, 2011

Collateralized Debt Obligation: Rekayasa Finansial Berbuntut Krisis

Selasa, 18 September 2007,  Federal Reserve Amerika Serikat (AS) memangkas suku bunga antarbank 50 basis poin dari 5,25% menjadi 4,75%. Indeks Dow Jones meroket tajam 2,51%. Begitu juga dengan pasar saham Asia. Indeks Nikkei 225 Jepang naik 3,17%.  Indeks Hang Seng naik 3,78%. Hal yang sama juga terjadi di Korea Selatan, Filipina sampai dengan India.

Terlihat jelas, The Fed sengaja memberikan sentimen positif kepada para investor dengan menciptakan persepsi bahwa The Fed telah melakukan aksi positif untuk memperbaiki kondisi pasar kredit perumahan di AS yang memburuk, belakangan. Sepertinya, kegalauan para investor Asia terhadap kondisi perekonomian AS mulai mereda.

Padahal, sebelumnya, pasar finansial dunia merosot sangat tajam. Kenaikan indeks bursa saham yang sempat dicapai selama 2007 hampir terhapus dalam tempo singkat. Di dalam negeri, pada 26 Juli 2007, indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat hancur lebur, minus sekitar 20% lebih.

Jika menoleh ke belakang, disebut-sebut bahwa koreksi yang tajam dari indeks pasar saham dunia, beberapa waktu lalu tersebut, diakibatkan krisis subprime mortgage AS.  Mortgage singkatnya adalah pinjaman untuk membeli properti yang dijamin properti itu sendiri.

Di AS, prime mortgage adalah kredit yang diberikan kepada para debitor yang memiliki sejarah kredit yang baik dan dapat menunjukan kapasitas untuk membayar kembali utangnya. Sedangkan, subprime mortgage diberikan kepada peminjam yang memiliki sejarah kredit yang buruk atau kapasitas membayar pinjaman yang rendah. Artinya, warga AS yang tidak bisa mendapatkan pijaman untuk membeli rumah secara sewajarnya tetap bisa meminjam melalui pinjaman subprime mortgage tersebut.

Jelas bahwa risiko gagal bayar dari para debitor subprime mortgage lebih besar daripada para debitor prime mortgage. Tapi, mengapa para kreditor mau memberikan kredit yang berisiko tinggi? Gampang saja karena kreditor akan menerima bunga tinggi, 2% sampai dengan 5% dari prime mortgage.
Kemudian, para kreditor berharap bahwa nilai jual properti yang dijaminkan akan terus naik, sehingga berpotensi memberikan imbal yang lebih menggiurkan. Tapi, kejadian yang nyata justru sebaliknya. Bau krisis mulai menyengat setelah kemudian ternyata harga properti jatuh. Mimpi mendapat keuntungan besar pun hanya tinggal harapan.

Lantas, bagaimana krisis yang terjadinya di AS bisa berdampak secara global? Pada awalnya, para kreditor (bank investasi) merekayasa finansial dengan memaket kembali tagihan kepada para debitor menjadi instrumen finansial yang dikenal dengan mortgage backed securities (MBS).

Singkatnya, MBS merupakan aset yang memiliki pendapatan, yaitu ketika debitor mortgage membayar bunga mortgage dan ketika mereka melunasi utangnya. Tentu tidaklah mudah menjual MBS ini karena aset yang mendasarinya berkategori jelek (subprime). Tapi, dengan melakukan rekayasa keuangan sedikit saja, bank investasi memecah-mecah MBS menjadi beberapa jenis (trances), sehingga terciptalah instrumen yang disebut collateralized debt obligation (CDO). Nah, CDO inilah yang kemudian disebut menjadi biang keladi, sehingga krisis pinjaman rumah di AS berdampak secara global. Seperti apa sih CDO itu?

CDO pada dasarnya adalah satu cara penciptaaan sekuritas dengan karakter risiko yang berbeda-beda dari suatu portofolio utang. Pada CDO, risiko kredit dari pihak yang menerbitkan ditransfer kepada para investor. Pada umumnya, penerbit CDO disebut dengan SPV (special purpose vehicle). Penerbit CDO biasanya melakukan transfer eskposur dari lebih 200 sekuritas dalam portofolionya. Kemudian, SPV tersebut  memberikan imbal hasil paling tidak pada tiga karakter investor (trance) yang berbeda: senior tranches, mezzanine tranches, dan junior trances.

Junior tranches akan menanggung risiko kredit yang paling besar. Maksudnya, kerugian pertama kali akan ditanggung invetor yang membeli CDO pada junior tranches ini. Tapi, tentunya, imbal hasil (return) paling tinggi juga akan diterima investor pada CDO junior tranches tersebut. CDO mezzanine tranches baru akan mengalami kerugian setelah besarnya kerugian yang harus ditanggung junior tranches terlampaui. Senior tranches baru akan menanggung kerugian setelah mezzanine tranches.

Karena memiliki risiko paling tinggi, CDO junior tranches sering kali sulit dijual kepada investor. Sehingga, junior tranches biasanya tetap dipegang SPV. Pasar terbesar CDO adalah senior tranches (peringkat AA atau AAA), disusul dengan mezzanine tranches (peringkat B sampai dengan AA).
Saat ini diperkirakan terdapat US$100 miliar aset CDO yang dijamin subprime mortgages dari perkiraan total CDO lebih dari US$350 miliar. Terlihat jelas, walau potensi kerugian pada CDO dibuat bertingkat, jika terjadi krisis—di mana para debitor subprime mortgage mengalami gagal bayar secara besar-besaran—CDO tranches yang mana pun akan memiliki risiko yang sama.

Tidak sampai di sini, instrumen CDO pun terus berkembang. Jika yang kita bahas sebelumnya adalah disebut cash CDO, yaitu SPV melakukan investasi secara langsung pada portofolio surat utang, yang akan kita bahas ini adalah synthetic CDO. Pada synthetic CDO, SPV tidak melakukan investasi pada surat utang, tapi cukup melakukan penjualan kredit derivatif berupa credit default swap (CDS).

Singkatnya, CDS adalah kontrak antardua pihak, yaitu pihak yang membeli proteksi (protection buyer) membayar suatu biaya (premium) kepada pihak lain yang disebut sebagai penjual proteksi (protection seller). Jka terjadi suatu credit event, protection buyer akan menerima sejumlah pembayaran dari protection seller. Pembayaran premi yang dibayarkan protection buyer kepada protection seller bisa sekaligus (lumsum) atau secara periodik. Credit event di sini bisa saja kejadian default-nya suatu debitor dari protection buyer atau turunnya peringkat surat utang (obligasi) yang dipegangnya.

Jadi, dengan menjual CDS, SPV yang menerbitkan CDO akan menerima pembayaran premi secara periodik dari pihak yang membeli proteksi dan menerima kas dari para investor yang membeli CDO. Kas ini selanjutnya diinvestasikan pada surat utang (obligasi) yang bebas risiko default.

Nah, instrumen-instrumen CDO berbasis subprime mortgage di AS inilah yang kemudian juga dibeli bank-bank, perusahaan asuransi, hedge funds, reksa dana (mutual funds), dan lembaga keuangan lain. Tidak hanya di AS, tapi juga telah menyebar secara global. Buntutnya, risiko subprime mortgage tersebar ke seantero dunia.

Bercermin pada masalah di atas, investasi pada subprime mortgage merupakan akar permasalahannya. Mungkin, bisa disamakan dengan meniup balon secara terus-menerus. Tinggal tunggu waktu akhirnya akan meletus juga. Sepertinya, perilaku terlalu yakin sempat menghinggapi para kreditor subprime mortgage dan para investor CDO. Jika perilaku overconfident ini menghinggapi investor, faktanya sering kali membuatnya menjadi lebih berani menanggung risiko. Tapi, tetap saja tidak terbantahkan, CDO, yang lahir melalui proses rekayasa finansial tersebut, memang berperan dalam krisis pasar finansial global.

Namun, sudahlah. Yang lebih penting, setelah menurunkan suku bunga, tentu, The Fed tidak akan serta-merta memulihkan kondisi perekonomian AS. Perbaikan sektor properti AS masih akan memakan waktu lama, sedangkan ancaman inflasi terus membayangi AS. Implikasinya, peluang The Fed untuk merevisi suku bunga terus terbuka dalam beberapa waktu ke depan. Kita di sini perlu selalu waspada. (*)

0 comments:

Post a Comment